Senin, 28 Juli 2008

persengketaan dalam ekonomi

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Dalam dunia usaha di Indonesia, banyak sekali hal yang dibutuhkan duntuk merealisasikannya. Beberapa elemen pendukung tersebut sagat menentukan kapasitas dan integritas usaha yang akan dijalankan. Dalam berbagai sektor Riil contohnya, kepemilikan modal sangat berperan penting terhadap kapasitas usaha yang dijalankan, senuah toko meubel mampu menyuplai barang jadi yang berkualitas ke daerah karena kebanyakan industri meubel di Indonesia memiliki perusahaan yang besar, akan tetapi modal dana tidak hanya sebagai salah satu faktor yang menunjang, masih banyak faktor lain yang berpearn penting lainnya akan tetapi keberadaa modal kas tidak bisa dipungkiri sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan.

Dalam perolehan modal, ada banyak cara yang dilakukan para pengusaha demi kuota modal mereka terpenuhi demi kelancaran cashflow peusahaan. Cara yang digunakan bisa melalui mengajukan pembiayaan kepada lembaga keuangan yang menyediakan dana segar maupung mengajkpemilik modal yang lain untuk mendukung permodalan perusahaaan. Dalam pemodalan yang melibatkan lembaga keuangan yang mengadakan dana segar, perusahaan memerlukan sesuatu yang menjamin keberadaan uang yang digunakan aman atau perusahaan membutuhkan agunan.

Dari pihak lembaga keuangan yang menerima ajuan perkreditan, atau lembaga yang biasanya di ajukan adalah bank, memerlukan klasifikasi tertentu bagi para debitur. Dikarenakan tidak semua perkreditan yang ada berjalan dengan semestinya. Dalam aplikasinya, banyak terjadi kendala atau biasa disebut dengan kredit macet bagi perusahaan yang tidak mampu memenuhi kewajibanya kepada pihak bank

Banyak kasus yang terjadi di Indonesia melibatkan perusahaan yang memiliki kredit macet baik besarnya dana hanya jutaan, milyaran bahkan triliyunan. Dalam penyelesaiannya banak memiliki banyak alternatif cara yang bisa dilalui.

Kasus yang menjadi pembahasan pada makalah kali ini adalah kasus yang terjadi dijambi yaitu kredit macet yang melibatkan PT Tunjuk Langit Sejahtera Jambi dan bank Mandiri.

BAB II

PEMBAHASAN

Penyelesaian persengkataan dalam bidang ekonomi

Dalam perkembangan dewasa ini bidang perekonomian Indonesia banyak sekali tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembag perekonomiannya. Lembaga keuangan itu dalam operasionalnya di dasarkan pada prinsip syariah, seperti berdirinya bank-bank syariah dengan memakai prinsip bagi hasil seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI) di Jakarta, BPR-BPR syariah di berbagai daerah tingkat II yang bergerak dalam bidang perasuransian.

Berdirinya lembaga-lembaga perekonomian dengan ciri syariah tersebut tentunya sekaligus akan membuka kemungkinan terjadinya perselisihan diantara para pihak y7ang bersyariah, atau apakah terbuka kemungkinan berbagai lembaga untuk menyelesaikannya.

Dalam system kekuasaan kehakiman pada sebuah pemerintahan sepanjang dalam sejarah Isalm ditemukan tiga model kekuasaan penegak hukum (lembaga penegak hu8kum), yaitu, kekuasaan al-qatla (kekuasaan pengadilan biasa), kekuasaan al_hisbah, dan kekuasaan al-muzalim. Masing-masing lembaga memiliki kewenangan tersendiri yaitu :

  1. kekuasaan al-qatla

lembaga peradilan itu menyelesaikan masalah-masalah tertentu yang menyangkut perkara-perkara madaniat dan al-ahwal asy-syakh-shiyakh (masalah keperdataan termasuk masalah hokum keluarga) masalah jinayah (pidana), dan tugas tambahan lainnya.

  1. kekuasaan al-hisbah

lembaga itu merupakan lembaga resmi Negara yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah- masalah atau pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan.

  1. kekuasaan al-mudzalim

badan ini di bentuk oleh pemerintahan khusus membela orang-orang yang teraniaya akibat sikap semena-mena penguasa Negara (yang lazimnya sulit diselesaikan oleh lembaga peradilan (al-qatla) dan kekuasaan hisbah). Lembaga itu juga berwenang untuk menyelesaiakan uap-menyuap dan korupsi.

Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa semua persoalan hokum yang timbul dalam masyarakat ketika itu dapat diselesaikan oleh ketiga lembaga tersebut, alternative lain adalah dengan cara memfungsikan lembaga perdamaian dan lembaga arbitrase.

Cara-cara penyelesaian kredit macet :

  1. perdamaian (ash-shulhu)
    1. Pengertian :

Dalam bahasa arab perdamaian di istilahkan dengan ash-shulhu, dalam pengertian syariat di rumuskan sebagai, “suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (perselisihan), antara dua orang yang berlawanan.” (sayyid sabiq, 13, 1988: 1889).

Dalam perdamaian terdapat dua pihak, yang sebelumnya terjadi persengketaan. Kemudian, para pihak sepakat untuk melepaskan sebagian dari tuntutannya.

Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariat Islam distilahkan musalih, sedangkan persoalan yang diperselisihkan di sebut musalih’anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain untuk mengaklhjiri pertingkaian/pertengkaran dinamakan dengan musalih’alaihi atau di sebut juga badalush shulh.

    1. Dasar Hukum

perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri.

Adapun dasar hokum anjuran diadakan perdamaian dapat dilihat dalam al-qur’an, sunah rasul dan ijma.

Al-qur’an menegaskan dalam surat al-hujarat ayat 9 yang artinya “ jika dua golongan orang beriman bertengkar damaikanlah mereka. Tapi jika salh satu dari kedua golongan berlaku aniaya terhadap yang lain maka perangilah orang yang aniaya sampai kembali kepada perintah ALLAH tapi jika ia telah kembali damaiakanlah keduanya dengan adil, dan bertindaklah benar. Sungguh ALLAH cinta akan orang yang bertindak adil.” (QS. Al-hujarat : 9)

Dasar hokum tang lain yang mengemukakan di adakannya perdamaian di antara para pihak-pihak yang bersengketa di dasarkan pada ijma.

    1. Rukun dan Sarat Perdamaian

Adapun yang menjadi rukun perdamaian adalah :

a. Adanya ijab

b. Adanya Kabul

c. Adanya lafal.

Apabila rukun itu telah terpenuhi maka perdamaian di antara pihak-pihak yang bersengketa telah berlangsung. Dengan sendirinya dari perjanjian perdamaian itu lahirlah suatu ikata hokum, yang masing-masing pihak untuk memenuhi / menunaikan pasal-pasal perjanjian perdamaian.

Adapun yang menjadi sarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan kepada, (sayyid sabiq, 13, 1988:190-195) :

· Menyangkut subyek (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian perdamaian)

tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak menurut hokum. Selain cakap bertindak menurut mhukum, juga harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.

Adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum tapi tidak mempunyai kekuasaan atau wewenang itu seperti :

a. Wali, atas harta benda orqang yang berada di bawah perwaliannya.

b. Pengampu, atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya

c. Nazir (pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang berada di bawah pengawasannya.

· Menyangkut obyek perdamaian.

Tentang objek perdamaian haruslah memenuihi ketentuan sebagai berikut :

a. Untuk harta (dapat berupa benda berwujud seperti tanah dan dapat juga benda tidak berwujud seperti hak intelektual) yang dapat dinilai atau dihargai, dapat dierah terimakan, dan bermanfaat.

b. Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidak jelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian yang baru pada objek yang sama.

· Persoalan yang boleh di damaikan

Adapun persoalan atau pertikaian yang boleh atau dapat di damaikan adalah hanyalah sebatas menyangkut hal-hal berikut :

a. pertikaian itu bewrbeuntuk harta yang dapat di nilai.

b. Pertikaian menyangkut hal manusia yang dapat diganti.

Dengan kata lain, perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan muamalah (hukum privat). Sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hak ALLAH tidak dapat di lakukan perdamaian.

    1. Pelaksanaan perdamaian

Yang dimaksud pelaksanaan perdamaian, adalah menyangkut tempat dan waktu pelaksanaan perjanjian yang di adakan oleh pihak-pihak yang bersengketa.

a. Perdamaian di luar sidang pengadilan

Di dalam penyelesaian sengketa, dapat saja mereka menyelesaiakan sendiri. misalnya, mereka meminta bantuan pada sanak keluarga, pemuka masyarakat atau pihak lainnya, dalam upaya mencari penyelesaian persengketaan di luar siding secara damai sebelum persengketaann di ajukan atau bahkan telah memasuki proses persidangan.

Untuk menghindari timbulnya persoalan di kemudian hari, maka dalam praktek seriiring perjanjian perdamaian itu di olaksanakan secara tertulis yaitu di buat akta perjanjian, agar mempunyai kekuatan hokum.

b. Perdamaian melalui sidang pengadilan dilangsungkan pada saat perkara di proses di depan sedan pengadilan (gugatan siding berjalan). Dalam kletentuan perundang-rundangan di tentukan bahwa sebelum perkara diproses (dapat juga selam diproses, bahkan sebelum mempunyai kekuatan hokum tetap) hakim harus mengajunrkan para pihak ysng bersengketa berdamai.

Dapat ditambahkan bahwa karena perdamian bersifat kerelaan atau mau sama mau maka terhadap akta perdamaian yang di buat melalui sidang pengadilan tidak dapat diajukan banding. Dengan kta lain telah mempunyai kekuatan hokum tetap.

    1. Pembatalan perdamaian.

Sebagaiman telah di ungkapkan di atas bahwa pada dasarnya perjanjian perdamaian tidak dapat di batalkan secara sepihak, dan ia telah mempunyai kekuatan hokum yang sama dengan keputusan pengadilan tingkat terakhir. Dengan perkataan lain, tidak dapat lagi di ajukan gugatan terhadap perkara dari persoalan yang sama yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap (in cracht fan gwijsde)

Namun demikian, perjanjian perdamaian masih mungkin di batalkan, yaitu :

- Telah terjadi suatu kekhilafan mengenai subjeknya (orangnya).

- Telah terjadi kekhilafan terhadap pokok perselisihan.

  1. Arbitrase (tahkim)
    1. Pengertian

Yang disebut dengan arbitrase adalah pemutusan suatu persengketaan oleh seseorang atau beberapa orang yang di tunjuk oleh pihak-pihak yangt bersengketa di luar hakim atau pengadilan (subekti, 1984 : 181) dalam prakteknya di sebut juga dengan perwasitan.

Putusan arbitrase oleh undang-undang di pandang sebagai putusan badab perwkilan tingkat terakhir, dn sekaligus dapat di mintakan eksekusi, yaitu melalui ketua pengadilan setempat.

Adapun keuntungan peneyelesaian lewat arbitrase ini adalah :

1. Keputusan dapat di lakukan dengan cepat.

2. Persengketaan dilakukan oleh ahli yang di pilih oleh pihak-pihak yang bersenglketa sendiri. Dengan dsemikian, tentunya akan lebih memungkinkan para pihak-pihak untuk menemukan rasa keadilan.

3. Penyelesaian persengketaan tersebut di lakukan dengan pintu tertutup sehingga persengketaan tersebut tidak sampai diketahui oleh masyarakat banyak.

Dalam peristilahan hukum Islam penyelesaian persengketan melalui badan arbitrase dapat di sepadankan denga istilah tahkim.

    1. Dasar hukum

Dasar hukum melalui badan arbiterse menurut syariat Islam dapat di sandarkan pada teks hukum yang antar lain terdapat dalam surat an-nisa ayat 35 (ayat-ayat lain yang dapat dijadikan sandaran arbitrase ini seperti surat al-hujarat ayat 9, an-nisa ayat 114 dan ayat 128) yang berbunyi : “jika kamu khwatir ada persengketaan din tar keduanyta, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari kelurga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut berniat mengdakan perbaikan, niscaya ALLAH memberi taufik kepada suami isteri itru. Sesunguhnya ALLAH maha mengetahuui lagi maha mengenal.”

Dengan menggunakan penafsiran analogis, mka dapatlah disimpulkan bahwa penggunaan badan arbitrase dapat dilakukan denga penyelesaian persengketaan bidang ekonomi.

Jelaslah bahwa dalam hukum Islam terbuka lebar kesempatan untuk menyelesaiakan persengketaan dalam bidang perekonomian melalui badan arbitrase, atau dengan perkatan lain eksitensi lembaga arbitrase ini diakui keberadaan dalam hukum Islam.

Contoh Kasus :

Kejaksaan Usut Kredit Macet Rp 96 Miliar
Senin, 11 Pebruari 2008 | 15:19 WIB

Kejaksaan Tinggi Jambi saat ini tengah mengusut kasus kredit macet Bank Mandiri yang diberikan kepada PT Tunjuk Langit Sejahtera (TLS) senilai Rp 96 miliar. "Kami sudah masuk tahap penyidikan,” kata Asisten Intel Kejaksaan Tinggi Jambi, Chaerul Amir, kepada Tempo, Senin (11/2).


Menurut Chaerul, dalam pencairan kredit ini, PT TLS juga diduga menggunakan jaminan fiktif. “Penggunaan dana yang diberikan juga tidak sesuai dengan peruntukan," kata di lagi.


Berdasarkan hasil penyelidikan, kejaksaan menemukan adanya keterlibatan banyak orang. Selain dari PT TLS juga terdapat karyawan Bank Mandiri. Sedikitnya 20 orang sudah dimintai keterangan sebagai saksi. "Kami sebenarnya sudah menetapkan tersangka. Tapi agar mereka tidak melarikan diri dan menghilangkan barang bukti, maka tunggu seminggu lagi baru bisa kami umumkan,” ujar Chaerul.

Kasus ini bermula pada 1994, PT TLS mendapat izin usaha membuka lahan seluas 9.800 hektare untuk perkebunan kelapa sawit di kawasan 22 desa, dalam lima kecamatan dan dua kabupaten, yakni Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tebo. Dalam perjanjian perusahaan akan melibatkan sedikitnya 4.000 petani untuk dijadikan peserta plasma,
dengan sistem bagi hasil 70 bagi petani dan 30 untuk perusahaan.

Tahap awal, antara 1994-1995, dengan memanfaatkan KUD Sadar melalui program kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA), perusahaan mengajukan pinjaman ke Bank Mandiri pusat dan dicairkan sebesar Rp 81 miliar. Dana ini rencananya akan digunakan untuk biaya membuka kebun dan membuat pabrik. Namun belakangan, kebun yang dijanjikan itu tidak pernah ada. Perusahaan pun tidak pernah membayar angsuran kepada bank.

Anehnya, sekitar 1998, perusahaan mengajukan lagi dana pinjaman ke Bank Mandiri pusat sebesar Rp102 miliar. Pinjaman itu disetujui dan dicairkan pada tahun 2004 sebesar Rp96miliar.

Pinjaman kedua ini juga menggunakan agunan yang sama, yaitu sertifikat milik petani peserta plasma, tapi kasus kedua ini pihak perusahaan tidak pernah meminta
persetujuan terlebih dahulu kepada para petani. Hingga 2005, kredit yang seharusnya
diangsur pihak perusahaan macet total. (SYAIPUL BAKHORI)

BAB III

KESIMPULAN

Berdirinya lembaga-lembaga perekonomian dengan ciri syariah tentunya sekaligus akan membuka kemugkinan terjadinya perselisihan diantara para pihak yang bersyariah,

Dalam sistem kekuasaan kehakiman pada sebuah pemerintahan sepanjang dijumpai dalam sejarah islam ditemukan tiga model kekuasaan penegak hukum yaitu :

a. Kekuasaan al- qadla

b. Kekuasaan al- hisbah

c. Kekuasaan al- mudzalim

Dan ada juga alternatif lain untuk menyelesaikan masalah kredit macet seperti

a. Perdamaian ( ash- shulhu )

b. Arbitrase ( tahkim )

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

S.H Prof.DR.Sutan Remy Sjahdeini,1999 Perbankan Syariah. Jakarta : PT Temprint

Lubis Suhrawardi K. 2000 Hukum Ekonomi Islam. Jakarta : Sinar Grafika Offset

www.google.com

Tidak ada komentar: