Minggu, 27 Juli 2008

konsep rahn dalam islam implementasi dalam gadai syariah

PENDAHULUAN

Dalam hidup ini, adakalannya orang mengalami kesulitan pada suatu ketika. Kesulitan yang di hadapi itu bermacam-macam, sehingga orang sangat membutuhkan bantuan satu sama lain. Di antara berbagai macam kesulitan itu masalah yang rumit di hadapi seseorang adalah ketika ia tidak memiliki uang. Uang adalah hal pokok yang di butuhkan manusia karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi sekarang kebutuhan hidup serba mahal.

Untuk menutupi atau mengatasi masalah itu orang terpaksa meminjam uang kepada pihak lain atau kepada rumah pegadaian atau kepada perorangan. Ketika orang itu meminjam kepada pegadaian maka pinjaman itu harus disertai jaminan. Akan tetapi sampai saat ini masih ada kesan dalam masyarakat, kalau seseorang pergi ke pegadaian untuk meminjam sejumlah uang dengan cara menggadaikan barang adalah aib dan seolah kehidupan orang tersebut sudah sangat menderita. Karena itu banyak di antara masyarakat yang malu menggunakan fasilitas pegadaian lain halnya jika kita pergi ke sebuah bank disana akan terlihat lebih prestisius, walaupun dalam prosesnya memerlukan waktu yang relatif lebih lama denga persyaratan yang lebih rumit.

Sebagai investasi bisnis lembaga keuangan seperti pegadaian tentu tidak lepas dari motif laba karena tujuan memaksimalkan laba inilah, maka banyak lembaga keuangan yang menerapkan kebijakan bunga. Bunga itu sangat membebankan masyarakat karena terkadang beban bunga yang harus nasabah bayarkan lebih besar dari pada keuntungan usahanya sendiri. Karena hal itu masyarakat ingin ada pendirian lembaga pegadaian syariah. Keinginan masyarakat terhadap berdirinya pegadaian syariah dalam bentuk perusahaan mungkin karena umat Islam menghendaki adanya lembaga pegadaian perusahaan yang benar-benar menerapkan syariat Islam.

Untuk menjembatani keinginan tersebut perlu di kaji tentang pengertian gadai syariah itu seperti apa, apa dasar hukum gadai syariah, rukun dan syarat sahnya perjanjian gadai, pemanfaatan dan penjualan barang gadaian serta bagaimana berakhirnya akad rahn, apa perbedaan antara rahn dan gadai, serta implementasinya dalam gadai syariah.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gadai (rahn)

Dalam istilah bahasa arab, gadai di istilahkan dengan rahn dan dapat juga di namai al habsu {Pasaribu, 1996:139). Secara etimologis, arti rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al-habsu berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat di jadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut (Syafe’i,2000:159). Sedangkan menurut Sabiq (1987 :139), rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil sebagian manfaat barangnya itu. Pengertian itu di dasarkan kepada praktek bahwa apabila seseorang ingin berhutang kepada orang lain, ia menjadikan barang miliknya baik berupa barang tak bergerak atau berupa barang ternak berada di bawah penguasaan pemberi pinjaman sampai penerima pinjaman melunasi hutangnya.

Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al Mugni adalah sesuatu benda yang di jadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari hargannya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari yang berpiutang. Sedangkan Imam Abu Zakaria al Anshary dalam kitabnya Fathul Wahab mendefisikan rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta benda sebagai kepercayaan dari suatu yang dapat di bayarkan.dari harta benda itu jika utang itu tidak dibayar (Sudarsono, 2003: 157).

Dari pengertian-pengertian di atas dapat dismpulkan bahwa pengertian rahn adalah menahan harta salah satu milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.

B. Landasan Syariah

Boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam diatur dalam Al-Qur’an, sunnah dan ijtihad:

1. Al Qur’an

Q.S. Al Baqarah : 283

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). (Q.S. Al Baqarah :283)

[180] barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.

Ayat tersebut menjelaskan barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Dalam dunia finansial, barang tanggungan bisa dikenal sebagai jaminan/collateral atau objek pegadaian.

2. Assunah

Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi. (H.R. Bukhari)

Menurut kesepakatan ahli fiqh, peristiwa Rasulullah saw, me-rahn kan baju besinya itu adalah kasus rahn pertama dalam Islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw.

Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Muhammad SAW bersabda: tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. (H.R. AsySyafii, al Daruquthni dan Ibnu Majah).

3. Ijtihad

Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun waktu bepergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadis tentang orang yahudi tersebut di Madinah. Adapun keadaan dalam perjalanan seperti ditentukan dalam QS Al Baqarah: 283, karena melihat kebiasaan dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu bepergian (Sayyid Sabiq, 1987: 141). Adh-Dhahak dan penganut madzhab Az-Zahri berpendapat bahwa rahn tidak disyariatkan kecuali pada waktu bepergian.

Asy-SyafiI mengatakan Allah tidak menjadikan hokum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Madzhab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan borg (jaminan) untuk dipegang oleh yang memegang gadaian (murtahin).

C. Rukun Gadai Syariah

Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun gadai syariah. Rukun gadai tersebut antara lain:

1. Ar-Rahin (yang menggadaikan)

Orang yang telah dewasa umurnya, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang digaadaikan.

2. Al-Murtahin (yang menerima gadai)

Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai)

3. Al-Marhun (barang yang digadaikan)

Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang.

4. Al-Marhun bih (utang)

Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun.

5. Sighat, ijab dan qabul

Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.

D. Syarat Gadai Syariah

1. Rahin dan Murtahin

Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn harus megikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan juga berarti kelayakan seorang untuk melakukan transaksi pemilikan.

2. Sighat

a. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu di masa depan.

b. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan.

3. Marhun Bih (utang)

c. Harus merupakan hak yang wajib diberikan/diserahkan kepada pemiliknya.

d. Memungkinkan pemanfaatan. Jika sesuatu menjadi utang tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah.

e. Dapat dihitung jumlahnya. Jika tidak dapat diukur rahn itu tidak sah.

4. Marhun (barang yang digadaikan)

Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:

a. Dapat diserah terimakan

b. Bernilai dan bermanfaat

c. Milik rahin (orang yang menggadaikan)

d. Jelas bentuk fisiknya

e. Tidak bersatu dengan barang lain

f. Berupa harta yang bernilai

g. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.

E. Pemanfaatan Barang Gadaian

1. Pemanfaatan rahin atas borg (barang yang digadaikan)

ü Rahin tidak boleh memanfaatkan borg tanpa seizing murtahin. Begitu juga sebaliknya murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa izin rahin. (pendapat ulama Hanafiah dan Hanabilah).

ü Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan murtahin, rahin mempunyai hak memanfaatkan.

ü Ulama Safi’iah berpendapat bahwa rahin boleh memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu minta izin,seperti mengendarainya, menempatinya dan lain-lain. Akan tetapi jika menyebabkan barang berkurang seprti sawah, kebun, rahn harus meminta izin pada murtahin.

2. Pemanfaatan murtahin atas borg

ü Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya.

ü Ulama Malikiyah membolehkan memanfaatkan borg jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas.

ü Pendapat ulama Hanabilah berbeda dengan jumhur ulama, mereka berpendapat jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar pengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Adapun borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas ijin rahin.

Menurut Sabiq (1987:141-143), akad gadai bertujuan untuk meminta kepercayaan dan menjamin hutang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Tindakan memanfaatkan barang tidak ubahnya adalah seperti qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiradh mengandung unsur riba, Jika borgnya bukan berbentuk binatang yang bisa ditunggangi atau diambil susunya. Jika berbentuk binatang murtahin bisa memanfaatkan sebagai imbalannya atas memberi makan binatang tersebut. Murtahin dapat mengambil manfaat dari binatang yang dapat ditunggangi seperti unta, kuda, keledai dan sebagainya. Murtahin juga dapat mengambil susu sapi, kambing dan lain sebagainya.

F. Implementasi Rahn dalam Perbankan

Kontrak rain dipakai dalam perbankan dalam dua hal :

1. Sebagai produk pelengkap

Rahin dipakai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.

2. Sebagai produk tersendiri

Akad rahin dapat digunakan sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.

Perbedaan utama antara biaya rahin dan bunga adalah darin sifat bunga yang bisa terakumulasi dan berlipat ganda, sementara biaya rahin hanya sekali dan ditetapkan diawal.

G. Manfaat ar Rahn (Gadai)

Manfaat yang diambil oleh bank dari prinsip ar rahn adalah:

1. Menjaga kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank.

2. Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang jika nasabah peminjam ingkar atau lalai karena ada suatu asset /barang jaminan yang dipegang bank.

3. Jika rahn ditetapkan dalam mekanisme pegadaian, maka sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah.

H. Resiko ar Rahn (gadai)

Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila penerapan sebagai produk adalah :

1. resiko tak terbayarnya hutang nasabah (wanprestasi)

2. resiko penurunan nilai asset yang ditahan atau rusak.

I. Berakhirnya Akad Rahn

Menurut ketentuan syariat bahwa apabila masa yang telah diperjanjikan untuk pembayaran utang telah terlewati yang berhutang berkewajiban membayar hutangnya. Namun seandainya yang berhutang tidak punya kemauan untuk mengembalikan pinjamannya hendaklah ia memberikan izin kepada pemegang gadai untuk menjual barang gadaian. Apabila izin tersebut tidak diberikan oleh yang berhutang maka si penerima gadai dapat meminta pertolongan hakim untuk memaksa orang yang berhutang untuk melunasi hutangnya.

Apabila pemegang gadai telah menjual barang gadaian tersebut dan ternyata ada kelebihan dari yang seharusnya dibayar oleh yang berhutang, maka kelebihan itu harus dikembalikan. Sebaliknya sekalipun barang gadaian telah dijual dan ternyata belum dapat melunasi hutang si penggadai, maka yang berhutang masih punya kewajiban untuk membayar kekurangannya.

Dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal sebagai berikut :

1. Barang telah diserahterimakan kepada pemiliknya

2. Rahin membayar hutangnya

3. Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin

4. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin

J. Persamaan dan Perbedaan antara Rahn dan Gadai

Persamaan rahn dan gadai :

1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang

2. Adanya agunan sebagai jaminan utang

3. Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan

4. Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai

5. Apabila batas pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang

Perbedaan rahn dan gadai :

1. Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atas sewa modal yang telah ditetapkan.

2. Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak, sedangkan dalam hukum Islam rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Pada hukum perdata positif penjaminan dengan harta tidak bergerak seperti tanah, kapal laut dan pesawat udara disebut dengan hak tanggungan seperti diatur dalam UU no.4 tahun 1996.

3. Di Indonesia penguasaan atas barang yang dijadikan jaminan dibedakan menjadi gadai dan fidusia. Gadai, penguasaan atas barang yang dijadikan jaminan diberikan kepada penerima gadai dan hak milik atas barang yang dijadikan jaminan tetap ada pada pemberi gadai. Sedangkan fidusia, penguasaan atas barang yang dijadikan jaminan diberikan kepada pemberi gadai yang juga sebagai pemilik barang yang digadaikan, seperti diatur dalam UU No.42 tahun 1999 tentang fidusia sebagai jaminan.

PENUTUP

A. Kesimpulan

· Rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil sebagian manfaat barangnya itu.

· Rukun gadai syariah antara lain : ar-rahin (yang menggadaikan), al-murtahin (yang menerima gadai), al-marhun (barang yang digadaikan), al-marhun bih (utang), sighat (ijab dan qabul).

· Dalam ikatan gadai tidak dibolehkan ada perjanjian melebihkan jumlah pembayaran hutang sebagai keuntungan orang yang meminjamkan uang. Jadi dalam hal gadai inipun terdapat riba yang dilarang. Dari Ali ra.. ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw : “Setiap hutang yang menarik manfaat (keuntungan) maka ternasuk riba.”

· Harta benda yang digadaikan itu sebagai jaminan dan penguat kepercayaan dalam utang piutang. Harta benda yang digadaikan adalah suatu amanah bagi orang yang berhutang atas orang yang memberikan hutang, bukan jadi milik sementara bagi yang memberi hutang. Namun demikian ia harus menyimpan menurut sewajarnya. Jika barang yang digadaikan itu dipelihara dengan penjagaan yang baik, tiba-tiba terdapat kerusakan atau hilang maka ia tidak menanggung kerugiannya.

· Harta benda yang digadaikan boleh dijual untuk pembayaran hutang, jika hutang itu tidak terbayar pada waktu yang telah ditentukan. Jika ada kelebihan uang dari penjualan barang maka harus dikembalikan kepada pemilik barang tersebut.

B. Saran dan Kritik

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu bagi yang membacanya. Akan tetapi makalah ini jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangannya. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Ghofur Abdul. 2005. Gadai Syariah di Indonesia Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Antonio, Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani Press.

Dahlan, Abdul Aziz. 2001. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve.

Firdaus, Muhamad. 2005. Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah. Jakarta : Renaisan.

Hasan, M Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Rifa’I, H Moh. 1978. Fiqh Islam Lengkap. Semarang : CV TOHA PUTRA.

Sjahdeini, Sutan Remi. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta : PT Temprint.

Sudarsono, Heri. 2005. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta : Ekonisia.

Tim Tafsiyah. 2006. Panduan Fiqh Lengkap Jilid 3. Bogor : Pustaka Ibnu Kasir.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

jelek nbanget siii blog lu ..